Diary kusam
Oleh: nikhayatus sholikah *)
Pagi yang cerah, seperti biasa sebelum pukul 04.00
aku harus membantu ibuku menyiapkan barang daganganya untuk dijual di pasar.
setelah ibu berangkat giliran aku mempersiapkan diri untuk bergegas berangkat
sekolah lebih tepatnya jam 06;15 dengan sepedah buntut ku yang selalu menemani
ku menuju jalan raya yang berjarak 2 km untuk menunggu bus yang mengantarkan ku
menuju sekolah dimana aku menuntut ilmu, kurang lebih 30 menit. Itupun jika bus
yang aku tumpangi berjalan cepat. hingga tepat pukul 7.00 bel masuk berbunyi.
karena jarak yang lumayan jauh tidak ada kendaraan lain selain menggunakan jasa
transportasi bus. Dengan jarak yang tidak dekat tersebut, sebelum aku masuk
kelas aku sering menghafal surat pendek al-qur’an, bukan karena aku rajin tapi
memang itu hukuman bagi siswa yang telat masuk kelas.
Dulu Aku anak kelas XII unggulan di aliyah. pada awalnya orang
tuaku tidak setuju untuk masuk unggulan karena biaya 2x lipat dari kelas
regular, karena ekonomi keluargaku yang pas2an. dengan tekatku yang tak
setengah2 aku bekerja keras membantu ibuku berdagang , dan pada akhirnya aku
diijinkan untuk masuk kelas unggulan. Aku tidak boleh menyia2kan kesempatan
itu,hingga ku ingin membuktikan kepada orang tuaku untuk memberikan yang
terbaik. Waktu itu bulan maret dimana waktu yang sangat sibuk bagiku untuk
mempersiapkan ujian akhir yang sudah di ambang pintu. dalam keseharianku selalu
ditemani buku-buku dan soal –soal try out yang melelahkan pikiran tapi tidak
mengurangi semangat belajarku karena aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku
yang bekerja keras untuk membiayai aku sekolah.
Ketika bel
istirahat nampak bu ragil, guru BK di kelasku sedang sibuk membuka lembaran
lembaran yang dibawanya, kami pun dipanggil untuk membantunya merapikan lembaran – lembaran yang ternyata
berisi brosur brosur dari berbagai perguruan tinggi. Aku iseng membaca baca
brosur tersebut. terlintas Di benaku rasanya tidak mungkin untuk bisa
melanjutkan ke perguruan tinggi karena aku tau pasti orang tuaku tidak setuju. Setelah
selesai merapikan aku bersama teman temanku sekelas pergi ke kantin untuk
sekedar membeli es atau makanan ringan.
Sudah banyak siswa
siswa yang merencanakan kelanjutan study nya. Mereka sangat antusias untuk
memilah milah perguruan tinggi yang mereka idam idamkan. Akupun hanya bisa
memendamya dalam hati. Aku merasa iri pada mereka. merasa pesimis bisa
melanjutkan ke perguruan tinggi. Setelah pulang sekolah aku membersihkan diri
dan kemudian ikut membantu ibu menyirami
sayur sayuran yang nantinya akan di petik untuk dijual di pasar bersama
dagangan lainya. Meskipun untung yang dikumpulkan ibu tak sebesar yang aku
bayangkan tapi ibuku tetap berjuang untuk membiayai ku sekolah. “ gimana
pelajaran di sekolah nak?” tanya ibu. Sekilas aku lanngsung menjawab “ alhamdulilah
lancar bu”. Tanpa ku sangka, Lanjut ibu “ syukurlah, mungkin hanya bisa sampai
sini ibu menghantarkan pendidikan mu
nak, ibu sudah tidak kuat lagi membiayai, kalaupun bisa, itupun kita terpaksa
tidak makan hanya untuk membiayai pendidikan, kakak mu dulu kulyah di biayai
oleh orang lain dengan menjadi pembantu di rumahnya, ibu harap kamu harus
mangerti” dengan rasa kecewa yang aku sembunyikan aku diam tanpa kata, aku
hanya bisa menyimpanya dalam hati, setelah pulang dari sawah aku langsung
munuju kamar kecil ku yang menjadi tempat yang paling nyaman bagiku diwaktu
sedih maupun senang. dalam kamar, aku menangis mengeluarkan air mata
kekecewaan, mengeluarkan semua yang mungkin menjadi jalan takdirku.
Waktu terus
bergulir, Tuhan membuktikan rasa sayangya kepadaku dengan memberi ku sidikit
cobaan, seiring poros bumi berputar di saat saat aku diharuskan fokus untuk
menghadapi ujian bapaku jatuh sakit, hari harinya dilalui dengan batuk yang
tiada henti. dengan surat yang di berikan, dokter memberitahukan bahwa terdapat
penyakit di tenggorokan bapak,jika tidak cepat dioperasi akan membahayakan kesehatan bapak operasi itu tentunya
membutuhkan biaya tidak sedikit. Mendengar berita itu serentak hatiku bimbang,
aku tenggelam dalam kegundahan, di saat itu pula aku membutuhkan sejumlah uang
untuk melunasi administrasi sebagai syarat mengikuti ujian. berat rasanya untuk
memilih, tapi aku tidak mementingkan egoku. sudah terfikir di benak ku untuk
keluar sekolah, bagaimanapun juga tanpa bapak aku tidak bisa menghirup udara di
dunia ini. Aku sengaja diam tanpa memberi tahukan ibuku, dengan terus berdoa,
mengadu tiada henti kepada yang maha khaliq tak pernah lupa aku memohon
petunjuk kapada NYA.
Seperti biasa bel
istirahat berbunyi, di dalam kelas yang ramai q membaca – baca buku pelajaran
sedangkan teman teman yang lain pergi ke kantin.” Kamu di panggil bu ragil
(guru BK) di ruangan nya” ucap neti salah satu teman dari kelas lain. Aku sudah
menduga dan pasrah karena belum bayar administrasi, segera aku masuk ruang BK,
“ apa ibu memanggil saya?” tanya ku. “iya, duduklah, langsung saja. selama ini saya
amati kamu selalu mengalami perkembangan dalam pelajaran, dan dari guru guru
akutansi mengutusku untuk menyeleksi siswa untuk mewakili olimpiade akutansi
se-jawa timur dan kamu salah satunya” .entah apapun alasanya aku di panggil di
ruang BK aku sedikit bernafas seperti terlepas dari seorang rentener mematikan.
seleksi demi seleksi aku dapat menyelesaikannya dan atas kerja keras ku
akhirnya aku salah satu dari 2 orang yang terpilih setelah menyingkirkan
puluhan siswa lainya, setelah persiapan yang tidak begitu lama kami berangkat
olimpiade dengan di antar oleh 2 guru pembimbing, setelah soal terselesaikan
tiba saatnya pengumuman, tanpa disangka namaku disebut dalam peringkat tiga
besar olimpiada akutansi se jawa timur.
Hingga Hari
berganti hari, tak terasa menginjak awal mei. siap tidak siap siswa kelas tiga
SMA seluruh indonesia di hadapkan pada lembaran soal UAS yang mengantarkan pada
berhasil atau tidaknya siswa dalam menempuh pelajaran selama tiga tahun yang
hanya ditempuh 3-4hari. Dengan penuh ikhtiar, aku mengikuti UAS dengan tenang.
karena pasca olimpiade tersebut berita menyebar sampai ke telinga pak wahib dan
atas informasi dari guru bu ragil, pak wahib memutuskan untuk tetap mengikuti
UAS dengan biaya ditanggung beliau, seorang kepala sekolah dermawan yang sangat
menyukai orang berprestasi. Hingga pada pengumuman akhir, aku peringkat 2
kumulatif. Kabar gembira untuk kedua orang tua ku, ini semua tak lepas dari
bantuan pak wahib,namun, bukan itu yang membuatku linangan air mata kebahagian,
syukur tak hingga pada robbil izati! keajaiban datang dari sepucuk surat dari rumah
sakit , bahwa ternyata tes penyakit bapak keliru dengan tes orang lain, yang
sebenarnya batuk bapak hanya batuk biasa hanya butuh pengobatan secara rutin.
Serentak aku sujud syukur dengan air mata yang terus memaksa untuk keluar,dan
pada saat itu lah aku sangat yakin Tuhan tidak tidur dan Tuhan selau mendengar.
*)mahasiswa bidik misi jurusan PGMI, fakultas tarbiyah IAIN
sunan ampel surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar